Issa

finding (gy)u — answers

“Hujannya udah mulai reda,” ujar Chan sambil memandangi tetesan air hujan yang berlomba-lomba menuruni kaca jendela.


Hansol menoleh ke arah Chan, kemudian ke arah jendela kamar Seungkwan. Langit di luar semakin gelap, namun hujan yang turun nggak sederas sore tadi. Suara petir yang menggelegar pun sudah nggak lagi terdengar.


“Bangunin gue kalau lampunya udah nyala,” ucap Seungkwan sebelum berbaring di lantai dan meletakkan kepalanya di pangkuan Hansol. Hansol menjawab dengan anggukan kepala walaupun Seungkwan sudah memejamkan matanya.


Cowok itu memerhatikan Seungkwan yang perlahan terlelap, kemudian mendongak ketika ia merasakan tatapan melekat dari Chan yang duduk di hadapannya.


“Lu nggak mau istirahat juga? Nanti gue bangunin,” ujar Hansol sambil menggeser buku-buku Seungkwan yang berserakan di antara mereka untuk memberikan ruang, “Sini tiduran.”


“Nggak usah. Gue cuma lagi mikir,” jawab Chan sambil menutup bukunya dan melirik mereka berdua.


Lampu darurat yang menyinari kamar Seungkwan nggak cukup terang bagi Hansol untuk membaca raut wajah Chan. Hansol menelan ludahnya, “Mikir apa?”


“Mikir kalau kalian berdua keliatan deket banget,” Chan tersenyum, “Gue agak iri.”


Mendengar ucapan Chan, Hansol langsung terdiam dan menatap cowok itu nanar. Jantungnya berdegup kencang dan tenggorokannya seketika terasa kering.


“Oh,” suara yang keluar dari mulut Hansol terdengar serak.


“Gue nggak pernah punya temen yang deket banget. Makanya gue suka ngeliat kalian berdua,” tambah Chan, “It must be nice to have each other.”


Hansol bisa merasakan punggungnya kembali melemas. Oh, itu maksudnya.


“Sol,” panggil Chan. Hansol mendongak dan melihat senyuman di wajah Chan yang digantikan oleh ekspresi serius. “Lu nggak apa-apa?”


“Nggak apa-apa gimana?” Balas Hansol.


“Keliatannya ada sesuatu yang ngusik lu. Mungkin ini perasaan gue aja, sih, tapi kadang lu ngeliat gue seakan-akan lu pengen ngomong sesuatu ke gue. Gue kira nanti lu juga bakal ngomong kalau emang ada sesuatu, tapi lu nggak ngomong-ngomong. Jadi gue aja yang tanya sekarang.”


Hansol menggigit bibir bawahnya, lalu menunduk dan menatap Seungkwan yang terlelap di pangkuannya.


Sejak dulu, Hansol nggak pernah menceritakan kekhawatirannya kepada siapa pun, termasuk Seungkwan. Hansol tahu bahwa nggak ada artinya ia memikirkan jawabannya sendirian, tapi nggak mudah pula bagi Hansol untuk langsung mengatakannya.


Hansol ingin mengatakannya kepada Seungkwan lebih dulu, tapi cowok itu juga nggak tahu apa ia bisa seegois itu; memintanya untuk nggak menyukai Chan.


‘Siapa pun boleh, asal bukan Chan.’


Apa bisa Hansol mengatakan itu pada Seungkwan? Apa Hansol akan pernah siap untuk menjadi egois dan merenggut kebahagiaan Seungkwan?


“Sol?”


Suara Chan membangunkan Hansol dari lamunannya. Hansol menoleh ke arah Chan yang kini mengerutkan alisnya khawatir.


“Lu nggak perlu ngomong kalau lu nggak mau,” ucap Chan. “Tapi kalau lu udah mau ngomong, gue bakal dengerin.”


“…Nggak. Gue mau kok,” ujar Hansol. Cowok itu memejamkan matanya dan menarik nafas dalam-dalam, kemudian menghembuskannya. “Gue bakal kedengeran egois banget. Semoga lu nggak jadi benci sama gue, ya?”


“Nggak ada manusia yang nggak egois,” celetuk Chan. Hansol tersenyum simpul mendengar jawaban cowok itu.


“Okay,” mulai Hansol. “Gue nggak selalu cuma berdua sama Seungkwan. Waktu SMA, kita bertiga.”


“Bertiga?”


“Iya, bertiga. Sama Moonbin.”


• • •


Juli 2018


“Bisa, nggak, lu nggak ngambil Hansol dari gue terus?”


Hansol dan Moonbin mendongak dari tempat duduk mereka di kantin. Di hadapan mereka, Seungkwan berdiri dengan kedua tangan di pinggangnya dan menatap Moonbin sinis.


“Galak banget, sih, Yang,” ledek Moonbin sambil mencubit pipi kiri Seungkwan. “Duduk lah, sini. Lu boleh ikut makan bareng kita, kok.”


Dengan wajah memerah, Seungkwan menepis tangan Moonbin dari pipinya. “Jangan panggil gue ‘Yang’!”


“Itu panggilan sayang gue buat lu. Kan 'Sayang'.”


“Gue nggak butuh!”


Hansol menonton cekcok antara Seungkwan dan Moonbin sambil menyantap mie ayam baksonya. Hitung-hitung hiburan untuk menemani makan siang. Nggak ada Netflix, teman-temannya pun jadi.


Saat masuk SMA, untuk pertama kalinya, Seungkwan dan Hansol ditempatkan di kelas yang berbeda. Tentu saja Seungkwan lebih mudah bergaul; langsung punya banyak teman dan disukai oleh senior sejak masa orientasi siswa. Biarpun begitu, Seungkwan selalu menyempatkan diri menghampiri Hansol di kelas sebelah setiap jam makan siang.


Tapi Seungkwan selalu keduluan oleh Moonbin, temen sebangku Hansol di kelas.


Walaupun Hansol dan Moonbin cepat akrab, kasusnya berbeda dengan Seungkwan. Moonbin terlalu iseng— “kegetelan”, menurut Seungkwan.


“Kursinya masih luas, nih. Kalau lu mau gue pangku juga boleh,” ucap Moonbin sambil menepuk pahanya.


“Nggak mau!”


Hansol hanya berharap sahabat kecil dan teman sebangkunya itu juga bisa akrab.


• • •


Agustus 2018


Harapan Hansol ternyata terkabul dan lebih cepat dari dugaan.


Setelah Seungkwan dan Moonbin mendaftar untuk kepengurusan OSIS yang baru, keduanya jadi lebih dekat. Moonbin masih nggak berubah; ia tetap iseng dan sering menggoda Seungkwan, tapi hal itu nggak lagi mengusik Seungkwan.


Hansol, Seungkwan, dan Moonbin pun jadi nggak terpisahkan. Ke mana pun mereka pergi, ketiganya selalu bersama. Persahabatan mereka dipenuhi gelak tawa dan pertengkaran receh yang menghibur keseharian Hansol. Menerima Moonbin masuk ke dalam persahabatan mereka mungkin bukan sesuatu yang direncanakan, tapi Hansol sama sekali nggak keberatan.


Sekarang ataupun kelak, Hansol berharap mereka bertiga bisa selalu bersahabat.


• • •


Desember 2018


“Risol, gue mau ngomong sesuatu.”


“Apa?”


“Gue pacaran sama Moonbin.”


Hansol menghentikan langkahnya dan menoleh ke belakang—ke arah Seungkwan yang sudah berhenti berjalan sejak tadi.


Jujur, Hansol memang menyadari kalau Moonbin lebih sering memerhatikan Seungkwan beberapa minggu belakangan, dan Hansol pun pernah nggak sengaja melihat mereka berdua bergandengan tangan di bawah meja kantin.


Tapi ketika Seungkwan mengajaknya pulang bareng tanpa Moonbin hari ini, Hansol sama sekali nggak menduga apa pun.


Hansol membuka mulutnya, kemudian menutupnya lagi. Apa yang harus ia katakan di saat seperti ini?


“Kita bukannya mau nyembunyiin ini dari lu, kok. Kita juga baru jadian kemarin…” tambah Seungkwan. “Dan gue janji kita nggak bakal sibuk sendiri dan ninggalin lu, Sol. Jadi… Nggak apa-apa, kan, kalau gue pacaran sama Moonbin?”


Kita, minus Hansol. Bukan bertiga, tapi berdua.


Ke mana perginya Hansol dalam perhitungan mereka?


“Yah, nggak apa-apa,” ucap Hansol dengan ekspresi datar. “Congrats, Bakwan.”


Sebuah senyuman merekah di bibir Seungkwan, “Thanks, Risol.”


Hansol membalikkan badannya dan kembali berjalan.


It should be fine, right?


• • •


Februari 2019


Semuanya baik-baik saja.


Hansol, Seungkwan, dan Moonbin masih selalu bersama. Ketiganya masih melakukan semuanya bersama: makan siang, pulang sekolah, dan main bareng.


Seungkwan dan Moonbin nggak pernah meninggalkan Hansol. Hansol nggak tahu apakah mereka berdua punya waktu untuk berdua saja, tapi setiap film yang mereka tonton, setiap tempat nongkrong baru yang mereka datangi, setiap momen yang mereka lewati, Seungkwan dan Moonbin selalu menghabiskannya bersama Hansol.


Mungkin memang nggak perlu ada yang berubah dan nggak akan ada yang berubah. Nggak perlu ada yang ditinggalkan, seperti kata Seungkwan.


Semuanya baik-baik saja.


Untuk sementara.


• • •


April 2019


“Lu kayak nyamuk, tau.”


Hansol menatap Donghan nanar. Di sebelahnya, Seungkwan dan Moonbin memasang ekspresi yang sama.


“Gue…?” Tanya Hansol.


“Bukan lu. Moonbin,” jawab Donghan sambil tertawa. “Padahal yang pacaran, kan, Seungkwan sama Moonbin. Tapi keliatannya kayak dia yang ganggu lu sama Seungkwan.”


“Masa, sih? Gue sama Seungkwan kurang mesra kali, ya?”


Moonbin tertawa, tapi Hansol tahu persis kalau sahabatnya itu sedang menahan diri untuk nggak menonjok Donghan sampai babak belur. Di sebelahnya, Seungkwan langsung terdiam menatap bubur ayamnya yang baru ia makan setengah.


Untuk pertama kalinya, Hansol menyadari bahwa kebersamaan mereka bukan sesuatu yang wajar. Seungkwan dan Moonbin lah yang berusaha untuk memuat Hansol ke dalam hubungan yang hanya diciptakan untuk dua orang.


Hansol hanyalah penyusup yang nggak seharusnya berada di antara kedua sahabatnya.


Di perjalanan pulang sekolah hari itu, Hansol berjalan lima langkah di belakang Seungkwan dan Moonbin. Keduanya sama sekali nggak menoleh ataupun mengajaknya berjalan di sebelah mereka.


Dan seminggu kemudian, Hansol memutuskan untuk berhenti berjalan bersama Seungkwan dan Moonbin.


• • •


Hansol menolak semua ajakan makan siang bareng dari Moonbin. Sibuk, dia bilang.


Ketika matanya bertemu dengan Seungkwan di kantin, Hansol memalingkan wajahnya.


Lebih baik Hansol sendirian daripada ia harus menyakiti kedua sahabatnya.


Daripada siapa pun, lebih baik Hansol yang menahannya walaupun sendirian.


• • •


Juli 2020


Hansol menemukan Seungkwan berdiri di depan pintu gerbang rumahnya ketika ia pulang dari latihan futsal.


“Gue putus sama Moonbin,” ucap Seungkwan sambil tertawa, namun air mata yang menetes di wajahnya membuat hati Hansol hancur berkeping-keping.


“Kenapa?”


“Gue nggak mau punya pacar kalau lu yang mesti gue korbanin,” jawab Seungkwan sambil sesengukan.


Hansol menjatuhkan tas olahraganya ke tanah dan memeluk Seungkwan.


“Maaf ya, Sol. Maaf gue ninggalin lu sendirian. Semua salah gue. Kalau dari awal gue nggak pacaran sama Moonbin, kita nggak bakal jadi kayak gini.”


“Nggak, ini bukan salah lu, Kwan. Lu boleh pacaran sama siapa pun orang yang lu sayang. Lu berhak untuk itu,” ujar Hansol sambil menepuk punggung Seungkwan.


“Padahal gue udah janji nggak bakal ninggalin lu,” ucap Seungkwan ke pundak Hansol. “Risol, maafin gue.”


Hari itu, Seungkwan nggak berhenti meminta maaf.


Dan sejak hari itu, Hansol nggak pernah bisa memaafkan dirinya sendiri karena telah membuat Seungkwan menangis.


• • •


Januari 2022


“…Kwan bilang bukan gara-gara gue, tapi gue tau sebenarnya emang salah gue. Gue yang bikin hubungan mereka retak,” Hansol menghela nafas, “Jahatnya, gue ngerasa lega karena sahabat gue balik. Tapi di sisi lain, gue tau gue menghalangi kebahagiaannya Kwan.”


Hansol menatap Chan lama. “Gue nggak mau hal itu kejadian lagi.”


Setelah putus dengan Moonbin, Seungkwan pernah berpacaran dengan beberapa orang lain yang nggak Hansol kenal, tapi nggak ada satu pun yang berhasil. Hal ini justru membuat Hansol semakin merasa bersalah. Ia merasa bertanggung jawab atas kebahagiaan Seungkwan karena pernah merenggutnya.


Tapi kalau Seungkwan menyukai Chan atau sebaliknya, semuanya akan terulang lagi. Hansol nggak ingin melewati kesendirian itu lagi; nggak ingin kehilangan sahabatnya untuk untuk kedua kalinya.


“…Gue udah pernah denger soal ini dari Seungkwan. Tentang lu berdua sama si Moonbin ini, maksud gue,” ujar Chan akhirnya. “Dan yang gue denger dari Seungkwan, dia juga tau kalau lu nyalahin diri lu sendiri padahal mereka putus bukan karena lu. Mereka putus ya karena memang udah nggak cocok, dan Seungkwan pun nggak suka ninggalin lu sendirian.”


Chan menoleh ke arah jendela. Hujan di luar sudah berhenti. “Dugaan gue, lu sempet ngehindar dari gue sama Seungkwan karena mikir kasusnya bakal kayak Moonbin lagi. Bener, nggak?”


Hansol mengangguk, “Iya. Karena lu temen deket gue juga…”


“Bodoh banget, asli,” Chan menggeleng sambil tertawa, “Gue nggak suka sama Seungkwan, dan gue taruhan seluruh isi dompet gue kalau Seungkwan nggak suka sama gue. Lupain aja kalau gue pernah bilang orang yang gue suka tinggal di sini.”


“Amit-amit gue suka sama lu. Nggak usah pake acara taruhan deh, dompet lu kosong juga,” ucap Seungkwan.


Hansol belum sempat merespon ucapan Chan ketika Seungkwan bangkit dari posisi tidurnya, “Lu suka sama anak boarding house? Siapa?”


“Anjir, lu pura-pura tidur?”


“Nggak usah ngalihin topik, cepet kasih tau siapa!”


Chan menoleh ke arah Hansol, “Jangan kasih tau dia!”


Hansol mengerjapkan matanya, “Gue nggak kasih tau! Gue nggak tau siapa. Kan lu yang ngomong.”


“Jangan rahasia-rahasiaan sama gue!” Teriak Seungkwan sambil menarik lengan hoodie Chan.


“Lepasin, nanti baju gue melar! Gila lu, ya?”


Hansol menyaksikan pertengkaran Seungkwan dan Chan sambil menganga, kemudian tertawa geli kepada dirinya sendiri.


Benar kata Seungcheol, nggak ada gunanya berasumsi. Kalau sejak awal Hansol langsung bertanya dan menceritakan kekhawatirannya, ia nggak perlu menghabiskan berbulan-bulan menghindari Seungkwan dan Chan ataupun mengasumsikan perasaan mereka.


Hansol mengira ia akan kehilangan seorang sahabatnya, padahal sebenarnya ia baru mendapatkan seorang sahabat lagi.


Now, everything is as fine as it should be.


• • •


“Oh, Channie. Belum tidur?”


Junhui tersenyum ramah ketika melihat Chan memasuki dapur. Chan membalas senyuman cowok itu.


“Kebangun, Kak. Agak haus. Kak Jun nggak tidur? Udah jam segini,” tanya Chan sambil menoleh ke arah jam dinding di dapur. Pukul 00:17.


“Langitnya cerah habis hujan tadi, jadi aku mau ke atap sebentar buat lihat bintang,” jawab Junhui tanpa melihat ke arah Chan. Cowok itu masih sibuk menyeduh air untuk tehnya.


“Kak Jun suka bintang?” Tanya Chan lagi.


“Hm,” Junhui memiringkan kepalanya, “Suka, nggak, ya? Aku bingung juga kalau ditanya. Hehe.”


Junhui mengambil dua buah cangkir dan mulai menyiapkan tehnya.


“Dulu nggak, sih, tapi akhir-akhir ini aku jadi suka. Hari ini kebetulan aku lagi kangen banget, jadi aku mau lihat bintang,” ucap Junhui lagi.


“Kangen lihat bintang? Memangnya kemarin nggak bisa lihat bintang?”


Junhui tersenyum lembut, namun Chan menyadari kilau mata cowok itu nggak secerah biasanya.


“Bisa dibilang begitu,” ucap Junhui ambigu. Cowok itu kemudian memberikan secangkir teh kepada Chan. “Ini diminum, ya. Biar bisa cepet tidur. Channie ujiannya pagi, kan?”


Chan mengangguk dan menggumamkan ucapan terima kasihnya pada Junhui. Ketika Chan menyeruput tehnya, seluruh tubuhnya terasa hangat.


Hangat dan menenangkan, seperti Junhui.


“Aku ke atas duluan, ya. Semangat UAS-nya besok,” ujar Junhui seraya mengelus rambut Chan dan melangkah pergi meninggalkan dapur.


“Kak Jun,” panggil Chan. Junhui menghentikan langkahnya dan menoleh ke arah cowok itu.


Chan menoleh ke kiri dan kanan, “Kalau Kak Jun lihat bintang, lalu ada bintang jatuh… Aku mau nitip wish, Kak.”


Junhui tertawa kecil, “Boleh. Apa wishnya, Chan?”


Chan menarik nafas dan mengingat sosok Junhui yang menangis di pintu apartemennya. Sekali. Dua kali. Chan berharap nggak ada yang ketiga kalinya.


I wish you’ll find someone who won’t make you cry.


I wish the only time you’ll cry is when you laugh until you can’t hold it anymore.


I wish you’ll be happy with someone who loves you, even if it’s not me.


“Wishku… Supaya kita bisa makan kerang kiloan bareng lagi. Bareng Ko Ji, Ko Seok, Kak Soon juga.”


“Kalau itu aku yang ngabulin juga bisa kok, Chan. Minggu depan, yuk,” ujar Junhui. Chan tersenyum sambil mengangguk.


“Oke, Kak.”


Junhui melambaikan tangannya dan pergi meninggalkan dapur. Chan menghela nafasnya yang ia tahan sejak tadi dan kembali menyeruput tehnya.


“…Pahit.”