Issa

start-up! — wedang ronde

Selesai workshop, Junhui mau makan wedang ronde di warung tenda pinggir jalan seberang co-working space ini. Dari siang tadi waktu Junhui tiba di venue, tulisan ‘SEDIA WEDANG RONDE’ yang terpampang besar di spanduk warung sudah berhasil menarik perhatian cowok itu.


Dan di sinilah Junhui sekarang, terduduk manis di kursi warung dengan sayup-sayup riuh jalanan ibu kota di kejauhan mengisi telinganya; menunggu hujan reda dan si abang yang tengah menyiapkan wedang ronde gula merahnya.


Semua hampir sempurna.


Hampir, karena bisa lebih sempurna kalau dia nggak lagi duduk di sebelah team leadnya.


“Saya mau susu jahe anget satu ya,” ucap Mingyu ramah ke si abang. Junhui memicingkan matanya menatap cowok itu.


Jujur, Mingyu nggak selalu membuat Junhui kesal. Hanya saja, banyak tindakan cowok ini yang nggak bisa dinalar. Kinerjanya sebagai Product Manager terbilang bagus, dan sebagai teman diskusi selama workshop tadi, Mingyu juga insightful dan profesional.


Cuma entah kenapa, Mingyu sering mengulur kerjaannya kalau sama Junhui. Junhui tahu persis kinerja Mingyu karena mereka sudah kerja bareng dua tahun belakangan, tapi ia masih nggak mengerti kenapa rasanya Mingyu selalu menunda task yang berhubungan dengan Junhui.


Apa dia merasa kerjaan Junhui nggak penting?


Pertanyaan itu cuma asumsi, tapi memikirkannya membuat Junhui jadi kesal sendiri. Mingyu membuatnya kesal karena Junhui nggak mengerti apa yang ada di dalam pikiran cowok itu.


Kayak sekarang. Padahal Mingyu bisa langsung pulang, atau pesan susu jahenya dibungkus untuk diminum di mobil. Kenapa dia mengikuti Junhui menerobos hujan untuk ke warung ini?


“Mas kenapa belom pulang?” Walaupun pertanyaannya terdengar seperti basa-basi, Junhui beneran penasaran. Mingyu jelas nggak perlu menunggu hujan reda karena dia bawa mobil ke sini. Dia nggak seperti Junhui yang motoran.


“Hm,” Mingyu memainkan kotak tisu di depannya tanpa menoleh ke arah Junhui, “Aku pulang kalau kamu udah jalan pulang duluan.“


Mungkin Mingyu sadar kalau Junhui menatapnya aneh, jadi ia menambahkan, “Maksudku, kita nggak tahu hujannya kapan reda kan. Kalau sampe kemaleman atau ada apa-apa, seenggaknya kamu nggak sendiri. Aku bisa anterin kamu balik…”


“Oh… Oke, Mas.”


That’s actually really sweet, tapi Junhui menolak untuk meleyot karena ini Kim Mingyu. Junhui bisa diketawain sama anak-anak kalau mereka tahu ia hampir terpana oleh gestur manis cowok itu.


Lagipula, Junhui selalu ke mana-mana sendiri naik motor. Mau malam, subuh, hujan atau terik, Junhui sudah terbiasa. Mingyu seharusnya nggak perlu khawatir...


Apa Mingyu khawatir?


“Aku aman kok, Mas. Aku nggak bawa jas hujan, yang penting aku ada helm—“


Anjrit.


Helmnya.


Junhui sontak bangkit berdiri dengan ekspresi panik. Mingyu otomatis ikutan panik.


“Jun, kenapa? Ada apa?”


“Helm aku ketinggalan di rak co-working space tadi. Dia tutup jam lima,” Junhui mengecek waktu di layar handphonenya, “Empat menit lagi jam lima. Mas, aku tinggal sebentar ya, aku mau ambil helm dulu.”


Junhui nggak menunggu respon Mingyu, ataupun respon si abang warung saat ia meminjam payungnya dan bergegas keluar.


Seisi kepalanya diisi dengan Jun goblok, pelupa, goblok sambil berlari menembus hujan menuju gedung di seberangnya; menggantikan pikiran apa pun yang ia miliki tentang Mingyu barusan.


• • •


Junhui berjalan kembali ke warung dengan helm di tangannya. Untungnya, ada resepsionis yang juga menunggunya kembali untuk mengambil helm. Junhui meminta maaf berkali-kali sebelum akhirnya meninggalkan co-working space itu untuk kedua kalinya hari ini.


Junhui nggak punya ekspektasi apa pun waktu memasuki warung. Tapi yang pasti, ia nggak menyangka akan disambut oleh sosok Mingyu yang sedang mengaduk wedang ronde sambil sesekali mengipas isi mangkuk itu dengan tangannya. Jelas ia juga nggak tahu harus bereaksi apa.


Junhui terdiam memerhatikan pemandangan itu sampai Mingyu menoleh ke arahnya.


“Jun, helmnya ada?” Tanya Mingyu, masih sambil mengaduk wedang ronde dengan sendok.


Junhui mengerjapkan matanya, “Hah? Oh.” Ia meletakkan payung milik si abang warung di dekat meja dan kembali duduk di sebelah Mingyu. “Ada, Mas, aman. Tadi mbaknya nungguin aku ambil helmnya juga.”


Junhui menaruh helmnya di kursi sebelahnya seraya Mingyu menggeser mangkuk wedang ronde itu ke depan Junhui.


“Ini punya kamu. Tadi abangnya bilang ini masih panas banget, jadi aku adukin biar nggak terlalu panas,” ujar Mingyu pelan dengan senyum tipis. Junhui mengangguk, tapi tangannya nggak tergerak untuk mengambil sendok dan menikmati wedang ronde itu.


“Jun, kamu nggak apa-apa? Ada yang sakit?” Tanya Mingyu ketika ia menyadari Junhui hanya menatap mangkuk di depannya.


Junhui mengalihkan pandangannya ke arah Mingyu, “Mas memang baik sama semua orang ya?”


“Hah?”


Junhui nggak tahu dari mana datangnya nyali sebesar ini sampai ia bisa menanyakan langsung ke Mingyu, tapi entah kenapa, gerak-gerik Mingyu hari ini membuatnya merasa ganjil.


“Mas memang biasanya khawatir sama orang lain ya? Sampai sepeduli itu buat nemenin, nungguin, ngedinginin makanan?” Tanya Junhui lagi.


“Aku nggak— Aku nggak pernah mikir ke sana sih,” jawab Mingyu bingung. “Kenapa?”


“Soalnya aku ngga pernah begitu sama orang lain. Jadi aku pikir mungkin memang aku yang nggak peduli sama orang, atau Mas Mingyu yang baik sama semua orang,” ujar Junhui yang mulai menyantap wedang rondenya. Hangat.


Mingyu nggak merespon ucapan Junhui, dan untuk beberapa lama, hanya ada suara hujan yang mengisi kekosongan di antara mereka hingga Mingyu kembali berbicara.


“…Aku juga nggak necessarily peduli sama semua orang. Aku maunya peduli sama satu orang aja.”


Untuk pertama kalinya hari ini, Mingyu menatap lurus ke mata Junhui. Junhui membalas tatapannya dengan sedikit bingung. Kenapa mendadak dia serius banget?


“Aku bakal peduli sama satu orang aja. Makanya…” Mingyu menelan ludahnya, “Lain kali boleh nggak, kita ketemu lagi kayak hari ini?”