Issa

start-up! — senyum

Joshua nggak mau lagi melihat bunga mawar berwarna peach selama setahun ke depan.


Tapi sejauh matanya memandang, ia hanya bisa melihat bunga itu di tangan setiap orang.


Waktu Jeonghan bilang mau mengadakan acara pemberian bunga di malam camping saat api unggun, Joshua sempat berpikir kalau idenya bagus.


“Setiap orang nanti akan kita bagiin satu tangkai bunga yang bisa mereka kasih ke colleague-nya. Boleh ke team member, team leader, atau cross division,” ucap Jeonghan sambil menunjukkan hasil Googling gambar bunga yang dimaksud. “Bunga yang mereka kasih nanti itu peach rose. Arti bunganya ‘gratitude’ atau ‘rasa terima kasih’. Cocok, kan, sama konsepnya?”


Ya, bagus. Sampai Joshua disuruh mencari vendor yang menjual 120 tangkai bunga mawar berwarna peach. Joshua yang nggak tahu apa-apa soal bunga, harus menelpon lebih dari tiga puluh vendor untuk menemukan mawar itu. Sampai kebawa dalam mimpi, malah.


Intinya, Joshua muak dengan bunga itu. Ia juga muak dengan Yoon Jeonghan.


“Temen-temen semua udah pegang bunganya, ya? Nah, sekarang waktunya temen-temen berikan bunganya ke orang yang paling ingin kalian ucapkan terima kasih. Ayo, mulai dicari team member atau leadernya!” Ucap Seungkwan dengan mikrofonnya di atas panggung. Mendengar aba-aba cowok itu, semua orang pun mulai menyebar untuk memberikan bunga.


Joshua menghela nafas sambil mengecek rundown acara di tangannya. Ia cuma mau acara malam ini cepat selesai.


Tapi dari sudut matanya, Joshua melihat Jeonghan berjalan ke arahnya sambil tersenyum. Joshua rasanya mau menghilang aja.


“Halo, Jojo,” sapa Jeonghan ceria.


Joshua harus mengumpulkan tenaga dua kali lipat lebih banyak dari biasanya untuk menarik senyuman di bibirnya, “Halo, Kak Jeonghan. Ada apa, Kak?”


Jeonghan mengulurkan setangkai mawar berwarna peach ke arahnya. Dua hal yang nggak mau Joshua lihat sekarang justru ada di hadapannya. Nice.


“Oh, aku nggak usah, Kak. Bunganya ternyata kurang tadi waktu dibagi, jadi beberapa panitia emang nggak dapet. Buat Kak Jeonghan aja, nggak apa-apa,” ujar Jeoshua sambil melambaikan tangannya menolak.


“Bukan,” ucap Jeonghan sambil tertawa, “Ini buat kamu, dari aku.”


“…Buat aku?” Joshua menatap Jeonghan nggak percaya.


Jeonghan menggangguk, “Iya, ini buat Jojo yang selalu bantuin aku. Walaupun aku sering ngerepotin kamu, kamu tetap bisa ngerjain task apa pun yang aku kasih dan hasilnya selalu bagus. Kamu juga selalu sopan dan aku tau kamu sering stress, tapi kamu nggak pernah ngeluh sekali pun kalau kerjaanmu berat.”


Jeonghan mengambil tangan Joshua dan meletakkan bunga di tangannya. “Kalau kamu mau ngeluh, kalau kamu capek, ngomong aja ya. Nanti kita cari solusinya sama-sama. Makasih udah berusaha ya, Jo.”


Padahal Jeonghan bisa memberikan bunga ini ke orang lain. Padahal selain Joshua, ada banyak team member lain di tim mereka. Tapi Jeonghan tetap memilih Joshua. Semua kerja keras yang Joshua lakukan dilihat oleh Jeonghan.


Entah rasa lelahnya atau apresiasi dari Jeonghan yang membuat Joshua sedikit sentimental hari ini, tapi air matanya perlahan menetes dan nggak mau berhenti.


“Yah, Jojo jangan nangis,” kata Jeonghan sambil tertawa kecil, “Nanti orang kira aku jahat sama kamu.”


“Emang Kak Jeonghan kadang jahat,” rengek Joshua yang masih sesengukan.


Jeonghan tersenyum menatap Joshua dan mengusap kepala internnya itu.


“Iya, iya. Aku jahat, ya?”


“Jahat banget. Paling jahat.”


Jeonghan tertawa lagi. Untuk hari ini, Joshua akan memaafkan Jeonghan.


Tapi hari ini aja. Besok lain cerita.


• • •


“Mas Jihoon!”


Jihoon menoleh dan mendapati sosok dua orang setengah berlari ke arahnya. Seungkwan dan Seokmin langsung mengulurkan bunga mawar di tangan mereka ke Jihoon.


“Buat gue, nih? Bukan buat Mbak Yulia?” Tanya Jihoon sambil menunjuk ke arah manager marketingnya nggak jauh dari mereka.


“Buat lo lah, Mas. Lo yang selalu ngebackup kita kalau ada apa-apa,” protes Seungkwan.


“Bener,” sahut Seokmin semangat, “Mas Jihoon panutanku di kantor!”


“Nggak usah berlebihan…” ujar Jihoon seraya menerima kedua bunga di depannya, “Thanks. Tim kita juga sepi kalau nggak ada kalian.”


Sebuah senyuman kecil menghias bibir Jihoon, namun hilang secepat kilat saat Seungkwan dan Seokmin menatapnya kaget.


“Mas… Lo barusan senyum?”


“…Emang nggak boleh?”


“Coba sekali lagi, Mas,” ujar Seokmin sambil mengeluarkan handphonenya dari kantong, “Mau aku foto.”


“Nggak.”


• • •


Minghao tertawa melihat tangan Wonwoo yang dipenuhi bunga mawar, kemudian ke arah bunga yang sama banyaknya di tangannya sendiri. Wonwoo ikut tergelak saat menyadari situasi mereka yang sama persis; kedua tangan yang hampir penuh dengan bunga.


“Dapet dari tim lo, ya?” Tanya Minghao, yang kemudian menambahkan, “Or more. Kayaknya tim Legal nggak sebanyak itu.”


“Iya, ada tim lain yang ngasih ke gue juga,” Wonwoo menilik bunga di tangan Minghao, “Itu semua dari team members lo?”


Minghao mengangguk, “Iya, dari anak-anak design.”


Minghao menyadari ada sedikit jeda sebelum pertanyaan Wonwoo selanjutnya, “Ada dari Hansol juga?”


“Ada,” jawab Minghao, “Ini anak-anak gue ngasih ke gue semua sih.”


“Hm,” respon Wonwoo. Minghao memiringkan kepalanya bingung. Itu aja yang mau Wonwoo tanyakan?


Kadang Minghao nggak tahu apa yang ada di pikiran Wonwoo. Sekarang pun, Wonwoo hanya terdiam menatapnya.


“Mikirin apa, Won?” Tanya Minghao akhirnya.


Wonwoo mengambil satu langkah maju dan mengesampingkan poni Minghao yang sedikit menutupi wajahnya.


“That the flowers look good on you,” ujar Wonwoo, “Tapi gue egois, jadi gue pengen cuma bunga dari gue aja yang lo terima. Kali ini pengecualian.”


Minghao hampir nggak bisa menemukan suaranya untuk merespon. Ada apa dengan Wonwoo hari ini? “G— Gue kan udah pernah dapet bunga dari lo.”


“I’ll give you more. The white ones that you love,” ucap Wonwoo sambil menatapnya lembut, “Okay?”


Dan ada apa dengan Minghao yang nggak bisa memalingkan pandangannya dari Wonwoo hari ini?


“Okay.”


• • •


“Joshua akhirnya nangis juga.”


Soonyoung dan Seungcheol menoleh ke arah pandang Chan dari tempat duduk mereka di rerumputan nggak jauh dari api unggun. Betul saja, mereka menemukan Joshua yang sedang mengusap air mata dengan Jeonghan yang berdiri di sebelahnya. Soonyoung tertawa.


“Kalau bos gue Jeonghan, gue juga bakal nangis, sih,” celetuk Soonyoung.


“Joshua kerjaannya banyak, tapi anaknya sabar banget. Gue kaget dia baru pecah sekarang,” tutur Chan.


Kali ini giliran Seungcheol yang bertanya-tanya. “Emang lo berdua nggak nangis pas ngasih bunga ke manager lo?”


“Umur segini nangisinnya mah cicilan,” tukas Soonyoung yang disambut oleh gelak tawa Chan dan Seungcheol.


Tawa mereka terhenti ketika Mingyu yang kebingungan datang menghampiri Chan.


“Chan, bunganya masih ada nggak, ya? Tadi gue belom dapet pas dibagiin,” tanya Mingyu.


“Kayaknya ada di kardus di belakang panggung deh, Mas. Coba cari ke sana aja,” jawab Chan sambil menunjuk ke panggung yang ia maksud. Mingyu menggumamkan ucapan terima kasihnya dan kembali pergi.


“Bunganya langka apa gimana, sih? Kok dikit banget sampe bisa abis?” Soonyoung menoleh ke arah Chan, “Beli aja mawar warna lain.”


Chan menaikkan pundaknya dan menggelengkan kepala. Seungcheol yang menjawab, “Nggak bisa, Nyong. Kalau beda warna, jadi beda lagi arti bunganya.”


“Oh,” Soonyoung mengangguk tapi nggak paham, “Pake bunga kamboja gitu, nggak bisa?”


“Ambil jagung bakar yuk, Chan,” ajak Seungcheol, pura-pura nggak mendengar pertanyaan Soonyoung.


“Yuk.”


Chan dan Seungcheol beranjak berdiri, meninggalkan Soonyoung yang menertawakan ucapannya sendiri.


• • •


Mingyu berjalan ke belakang panggung dengan langkah tergesa-gesa.


Ia nggak menyangka akan melewatkan waktu pembagian dan baru kembali dari dapur setelah semua orang sudah saling memberikan bunga.


Mingyu mungkin kelihatan desperate di mata orang lain, tapi ia membutuhkan bunga mawar itu. Ada sesuatu yang harus ia sampaikan ke seseorang.


Setibanya Mingyu di belakang panggung, ia menemukan Junhui berdiri sendirian di antara kardus kosong; kardus-kardus yang tadinya terisi oleh bunga mawar.


Satu-satunya bunga mawar yang tersisa di tempat itu ada di tangan Junhui.


“Oh?” Ucap Junhui saat ia menyadari keberadaan Mingyu. Junhui langsung menunduk menatap mawar di tangannya tanpa sekalipun melirik ke arah cowok itu.


Deg.


Junhui nggak mau melihat ke arah Mingyu.


Seketika hati Mingyu rasanya seperti dilindas perata aspal. Apa ajakan Mingyu untuk mengobrol tadi sore membuat Junhui ilfil?


Rasanya Mingyu mau menangis, tapi ia menelan perasaan itu bulat-bulat dan melangkah mendekati Junhui.


“Jun,” ucap Mingyu pelan, “Bunga mawarnya masih ada, nggak? Aku belum kebagian, tadi kelewatan waktu dibagiin.”


Junhui terlihat menggigit bibirnya, “Hm… Maaf, Mas. Tadi aku yang bagiin bunganya. Mawar peachnya udah abis, sisa satu mawar ini aja tapi ternyata warnanya beda. Mau?”


Junhui mengulurkan bunga itu ke hadapan Mingyu. Matanya masih enggan bertatapan dengan cowok itu. Mingyu mengabaikan ngilu di hatinya dan menilik bunga mawar di tangan Junhui.


Bunga mawar itu berwarna kuning dengan ujung kemerahan. Sekilas memang seperti warna peach, tapi keduanya sama sekali berbeda.


Yah, warna apa pun nggak masalah bagi Mingyu. Yang penting adalah orang di hadapannya sekarang.


“Mau, boleh buatku?” Tanya Mingyu seraya mengulurkan telapak tangannya.


Junhui mengangguk dan memberikan bunga itu ke tangan Mingyu.


Hening menyelimuti mereka berdua sebelum Mingyu menarik nafas dan mengumpulkan keberaniannya.


“Jun,” mulai Mingyu, “Kamu inget, nggak, dulu di hari pertama aku masuk, kamu nemenin aku lembur buat pelajarin handover dari product manager sebelumnya? Padahal kamu nggak perlu nungguin aku, tapi kamu tetep ikutan lembur buat jawab pertanyaan-pertanyaanku.”


Mungkin ada sesuatu dari kata-kata Mingyu —dari caranya menyampaikan atau ketulusan di dalamnya— yang membuat Junhui akhirnya mendongak dan menatap cowok itu.


“Terus kamu inget juga, nggak? Kamu pernah marahin anak-anak engineers karena molor dari sprint, waktu aku belum berani negur mereka? Aku inget banget hari itu, soalnya aku ikutan takut,” Mingyu tertawa malu, “Sekarang pun sama. Aku tau kamu tadinya mau cuti, tapi kamu malah jadi ikut ke sini karena bantuin aku.”


“Kamu selalu baik dengan cara kamu sendiri. Cara yang Jun banget. Orang lain mungkin nggak tau, tapi aku tau dan aku bersyukur banget karena aku tau sisi kamu yang ini.”


Mingyu mengulurkan kembali bunga mawar di tangannya kepada Junhui, “Aku bersyukur ada kamu waktu itu, dan aku bersyukur ada kamu lagi di sini bareng aku. Dari dulu sampai sekarang, aku selalu berterima kasih sama kamu, Jun.”


Mingyu menahan nafasnya menunggu Junhui mengambil bunga itu dari tangannya. Junhui masih menatap Mingyu dengan ekspresi yang nggak bisa ia baca.


Ia baru bisa menghela nafas lega ketika Junhui akhirnya menerima bunga itu.


Mingyu memerhatikan Junhui yang tersenyum kecil melihat bunga yang ia terima barusan. Senyumannya kemudian merekah ketika ia kembali mendongak menatap Mingyu.


“…Makasih, Mas,” bisik Junhui pelan. Rona merah tipis menghias pipinya.


Mingyu mengulum bibirnya; berusaha menahan senyuman yang mulai memgembang dan hatinya yang melompat kegirangan.


“My pleasure, Jun.”


Keduanya mungkin masih jauh dari apa yang Mingyu dambakan.


Tapi setidaknya untuk malam ini, Mingyu bisa melihat senyuman termanis di wajah orang yang paling ia sayangi,


dan itu senyuman yang Mingyu ukir sendiri.