Issa

start-up! — ngobrol

Mungkin orang nggak bakal percaya kalau tahu Mingyu sebenarnya nggak pernah pacaran.


Iya, nggak pernah. Sumpah.


Mingyu selalu yakin ia cuma akan punya satu orang yang jadi pacar sekaligus pasangan hidupnya nanti. Orang itu aja, nggak ada yang lain.


Makanya Mingyu nggak pernah pacaran sampai sekarang. Walaupun pernah ada gebetan-gebetan lucu dan sering tebar pesona (Mingyu tahu dirinya ganteng), tapi nggak ada yang ia seriusin. Nggak ada orang yang benar-benar Mingyu suka dan belum ada yang bisa memgambil hatinya.


Sekalinya ada, kata-kata Mingyu seakan dicuri langsung dari bibirnya. Semua hal yang mau Mingyu katakan, tenaga di lututnya, sampai hatinya; semua langsung jatuh ke tangan orang itu.


Orang itu, nggak lain dan nggak bukan, adalah Junhui.


Mingyu nggak bisa berfungsi dengan normal di sekitar Junhui. Kalau urusan kerjaan, Mingyu masih tahu harus ngomong apa, butuhnya apa. Di luar itu?


Buyar.


Kayak sekarang, misalnya.


Lima belas menit berlalu sejak keberangkatan mereka, nggak ada satu pun suara yang keluar dari mulut Mingyu dan Junhui. Mingyu sibuk mengatur degup jantungnya sambil menyetir. Junhui sibuk membalas pesan di handphonenya dan memandang ke luar jendela. Kesunyian di mobil Mingyu hanya diisi oleh deru mesin dan suara hembusan AC.


Ini momen yang tepat untuk ngobrol dan lebih dekat dengan Junhui, kan? Tapi Mingyu nggak tahu harus mulai dari mana. Ia terlalu gugup, terlalu sadar dengan setiap gerak-gerik cowok yang duduk di sebelahnya itu.


Atau jangan-jangan, Junhui cuma diam karena ia nggak nyaman di mobil Mingyu? Mingyu terkesiap dalam hati. Nggak, nggak boleh. Mingyu harus menjaga supaya Junhui betah di sampingny— di mobilnya.


Mingyu sudah mempersiapkan mobilnya khusus untuk Junhui hari ini. Selimut, snack, curated playlist di Spotify, pengharum mobil (yang bentuk pohon cemara itu, Mingyu beli 5 jenis yang beda-beda wanginya supaya bisa langsung diganti kalau Junhui nggak suka baunya), sampai kantong muntah, semuanya lengkap. Ia cuma perlu memastikan kalau Junhui nyaman di samp— di mobilnya. Iya, mobilnya.


“Jun, AC-nya kedinginan, nggak? Aku ada selimut di belakang kalau dingin. Mau aku ambilin?” Tanya Mingyu perhatian.


“Nggak usah, Mas. Aku udah pakai hoodie,” jawab Junhui. Mingyu sontak melirik ke ke arah cowok itu.


Mingyu nggak tahu kenapa ia kaget. Padahal ia sudah melihat Junhui mengenakan hoodie abu-abu itu sejak menjemputnya tadi pagi. Mingyu nggak lupa, cuma nggak mikir aja.


“Oh,” Mingyu berdeham, “Eh, iya. Jun haus, nggak? Mau minum? Aku bawa susu cokelat loh.”


“Aku punya minum sendiri, Mas. Aman,” ucap Junhui sambil membuka dan menenggak isi botol air minumnya.


Mingyu cuma bisa tertawa kikuk, “Haha oke, deh.”


Junhui kembali menoleh ke luar jendela dan Mingyu terdiam lagi.


Hening.


Nggak apa-apa. Nggak masalah. Mingyu nggak bakal patah semangat. Masih ada playlist Spotify khusus yang Mingyu buatkan untuk perjalanan mereka hari ini. Lagu-lagunya bisa jadi bahan obrolan.


“Kita nyalain lagu aja kali ya, biar nggak sepi. Jun mau denger lagu apa? Ada request?” Mulai Mingyu sambil menekan tombol bluetooth di stereo mobilnya.


“Lagu apa aja boleh, Mas,” ujar Junhui. Sebuah senyuman mengembang lebar di wajah Mingyu.


“Kalau gitu—“


“Aku mau dong, Mas,” ucap seseorang yang duduk di kursi belakang. Hansol menyelipkan kepalanya di tengah-tengah Mingyu dan Junhui, “Atau connect-in bluetooth langsung ke hapeku aja, sekalian aku jadi DJ.”


“O— oh, iya silakan,” Mingyu menutupi rasa kagetnya dengan tertawa canggung. Ia lupa ada Hansol.


Kemarin, Jeonghan meminta Mingyu dan Junhui untuk berangkat duluan menyiapkan konsumsi di tempat. Hansol juga ikut berangkat bareng untuk bantu angkat-angkat sebagai tim perlengkapan.


Hansol bergeming sejak mereka berangkat tadi, jadi nggak sepenuhnya salah Mingyu kalau ia lupa.


Setelah stereo mobil sukses terhubung ke handphonenya, Hansol kembali mundur dan bersandar di kursi belakang. Dari speaker, perlahan mulai terdengar instrumen seruling yang ditiupkan, disusul oleh lantunan lirik dan dentaman gendang yang ceria.


Pabila kuingat dirimu

Di saat berdua hidup sengsara

Makan sepiring kita berdua


Mingyu berusaha untuk meresapi lagu pilihan Hansol, tapi ia nggak bisa mengatur ekspresi kebingungan di wajahnya. Di sebelahnya, Junhui memasang ekspresi yang mirip dengan Mingyu. Cowok itu mengerjapkan matanya beberapa kali ke arah stereo mobil dan judul lagu yang muncul di layarnya. Mingyu ikut melirik tulisan di layar itu.


“…Ini judulnya serius ‘Sepiring Berdua’?” Gumam Junhui pelan, tapi Hansol mendengarnya.


“Iya, Kak,” celetuk Hansol.


“Nggak usah dijawab, Sol.”


“Haha unik ya, judulnya,” ujar Mingyu sambil tertawa renyah, “Hansol memang suka dangdut, ya?”


Dari kaca spion, Mingyu melihat Hansol menggeleng, “Nggak sih, Mas. Biar rame aja soalnya sepi banget dari tadi. Agak garing.”


“Oh...”


Mingyu nggak tau mau ngomong apa lagi. Junhui menggelengkan kepalanya tak acuh dan kembali memalingkan pandangan ke jendela. Habislah kesempatan Mingyu untuk memulihkan suasana.


Entah sudah berapa puluh lagu dangdut yang bertengger di queue Spotify Hansol, tapi yang pasti, lagu-lagu itu cukup untuk mengisi kecanggungan di dalam mobil sampai mereka tiba di bumi perkemahan.